Tinta warna, bercak indah di atas kertas. Rumput hijau tikar sejarah, menggambarkan lembar pagi hingga bayang senja. Mengangkat pena kita ke atas, mengenai silauan matahari.
Telapak kiri di kepala, tangan kanan dijunjung, menantang sabda langit. Segenap asa dan
harap, riakkan ke atas, ke sana, jauh.
Meskipun menguras telaga mata, melintasi lorong tanpa gema dan suara.
Dunia kita diantara helai-helai, asa kita ditimbun, melambai,
menghampar, buram.
Pekat bersama angkara.
Saat pagi buta menjelang.
Kita berlarian mengejar matahari.
Kawat berduri di kepala, bersemayam di ujung kepala kelabu. Menerpa
tiang layarkan bahtera.
Ketika waktu berkunjung ke dentang malam, melewati batas lengang.
Dibalik jingga merona, kering kerontang. Secercah embun di kelopak
mata.
Ingat senja waktu itu?
Senja yang selalu menantikan cerita darimu, ada aku di situ.
Ingat ketika kau mendapatkan berita pengumuman bahwa namamu ada di
deretan delegasi exchange student Bina AntarBudaya? Saat itu aku iri setengah
mati.
Malam harinya aku meratapi dan mengutuki lantaran aku berpikir namaku
yang ada di situ, bukan kamu. Namun doaku tetap mengalir untukmu sahabatku.
Kita, yang dari seragam beda. Saat itu dari kotamu, kau jajaki setiap
langkah. Membawakan surprise karena aku mendapati diriku telah memegang piala
saat pelombaan bahasa jepang. Aku masih menyimpan foto selfie kita dikala itu.
Setiap tapak kehidupan yang sudah lewat, setiap itu juga kita terus
menerus berlomba, saling melompati keberhasilan, melampaui. Aku sadar diriku
begitu, begitupula kamu. Kita saling mencibir, namun kita saling mendorong satu
sama lain.
Dahulu aku masih bebas bermain dan berbincang denganmu, tanpa
mengetahui sebenarnya harus ada gerbang pembatas untuk kita.
Semua berubah saat memasuki jenjang yang lebih tinggi. Kau, dengan
senyum sumringahmu mempersiapkan diri untuk OSKM hari esok. Masih terdengar di
telingaku sore itu, suara teriakanmu dari telepon genggam ketika pengumuman
penerimaan mahasiswa baru. Aku menangis haru, bukan, yang ini bukan menangis
iri. Namun ini adalah tanda syukur bahwasanya doaku juga terdengar oleh Yang
Maha Esa.
Memang melalui tahap yang berbeda, saat memang sama-sama mendengar
kabar duka tentang beberapa program yang kita kirim bersama, namun kau dengan
tabah menyemangati diriku yang dulu benar-benar rapuh dan lemah. Diriku yang
dulu masih berantakan, bahkan kain kudung tidak kujulurkan setiap masa.
Kembali lagi saat telah memasuki jenjang itu, perlahan masing-masing
dari kita telah memegang amanah dan kesibukan. Membuat komunikasi di antara
kita benar-benar terputus, hanya terhubung dengan waktu yang bernama liburan.
Itupun kita benar-benar hanya menyapa dan kemudian terlena dengan kesibukan
masing-masing.
Bahkan, untuk sekedar berbicara panjangpun, aku makin segan.
Entah dirimu yang lupa, atau diriku yang lupa.
Perlahan, aku mulai sadar dan teringat, rupanya masing-masing dari kita
telah berubah dari segala segi. Terakhir kali kita berbicarapun, rasanya aku
ingin segera menuntaskan pembicaraan. Obrolan kitapun hari itu hanya sebatas
menanyakan kabar keluarga, kuliah, dan kegiatan. Itupun berlangsung beberapa
menit, kemudian pamit. Selebihnya hanya membroadcast informasi penting dan
tidak membicarakan hal-hal sepele seperti dulu. Namun itupun sudah lama sekali.
Ya, masing-masing dari kita telah segan. Sadar bahwasanya harus ada
gerbang pembatas, tidak bisa bebas seperti dulu, tidak.
Entah aku yang merasa begini atau kamupun demikian.
Setiap kali teringat masa itu, aku dengan sengaja mengarahkan jariku
untuk mencari tahu. Membuka seluk beluk melalui internet, tepatnya media sosial
yang terjamah. Ada rasa iri yang datang kembali, ketika melihat bahwa ternyata
dirimu telah begitu keren dan hebat. Hingga membuat aku terpacu untuk
melompatimu lagi, seperti dulu.
Pernah saat itu, saat aku sempat mengunjungi tempat belajarmu karena
ada suatu keperluan. Kantin Salman, tempat pertama semenjak memasuki perubahan,
yang menjadi saksi bahwa komunikasi kita telah terputus di situ. Memang kita
pernah bertemu kembali, di kota yang lain, di kota yang terkenal dengan
gudegnya. Namun tetap saja, tidak mengubah keadaan kita, agar seperti dulu.
Dengan samar-samar aku melihat jaket itu dari belakang, jaket jurusan
yang pernah kau perlihatkan di tahun pertama waktu itu. Beberapa detik aku
menyipitkan mataku yang sudah makin minus, memastikan siapa yang mengenakan
jaket itu karena aku seperti mengenali geriknya.
Entah ada kontak batin apa, dengan tiba-tiba kau berbalik badan dan...
Tersentak kemudian, namun dengan cepat aku mengarahkan mataku ke
samping dan berbincang dengan temanku. Refleks seperti itu, akupun tidak tau
mengapa.
Entah, sadar atau tidak. Harusnya kau melihat dan menyapa. Namun yang
kau lakukan adalah meneruskan perjalananmu ke depan, bersama dengan
teman-temanmu yang juga mengenakan jaket setipe itu.
Harusnya aku tinggal bersapa saja. Namun saat itu aku ragu untuk
memanggil dan menyapa, karena khawatir bahwa kau sudah lupa dengan teman
kecilmu ini.
Setelah itu benar-benar selesai. Mungkin kau memang tidak melihat, jadi
yasudah.
Semoga kita sama-sama tetap berada di jalan-Nya, tetap saling
menyemangati dan mendoakan seperti waktu itu, mungkin dengan cara dan sikap
yang berbeda.
0 件のコメント :
コメントを投稿