2014年8月28日木曜日

Nostalgic: There is no greater sorrow than to recall a happy time when miserable


Tinta warna, bercak indah di atas kertas. Rumput hijau tikar sejarah, menggambarkan lembar pagi hingga bayang senja.
 Mengangkat pena kita ke atas, mengenai silauan matahari.
Telapak kiri di kepala, tangan kanan dijunjung, menantang sabda langit. Segenap asa dan harap, riakkan ke atas, ke sana, jauh.
Meskipun menguras telaga mata, melintasi lorong tanpa gema dan suara.
Dunia kita diantara helai-helai, asa kita ditimbun, melambai, menghampar, buram.
Pekat bersama angkara.

Saat pagi buta menjelang.
Kita berlarian mengejar matahari. 
Kawat berduri di kepala, bersemayam di ujung kepala kelabu. Menerpa tiang layarkan bahtera. 
Ketika waktu berkunjung ke dentang malam, melewati batas lengang.
Dibalik jingga merona, kering kerontang. Secercah embun di kelopak mata.

Ingat senja waktu itu?
Senja yang selalu menantikan cerita darimu, ada aku di situ.

Ingat ketika kau mendapatkan berita pengumuman bahwa namamu ada di deretan delegasi exchange student Bina AntarBudaya? Saat itu aku iri setengah mati.
Malam harinya aku meratapi dan mengutuki lantaran aku berpikir namaku yang ada di situ, bukan kamu. Namun doaku tetap mengalir untukmu sahabatku.

Kita, yang dari seragam beda. Saat itu dari kotamu, kau jajaki setiap langkah. Membawakan surprise karena aku mendapati diriku telah memegang piala saat pelombaan bahasa jepang. Aku masih menyimpan foto selfie kita dikala itu.

Setiap tapak kehidupan yang sudah lewat, setiap itu juga kita terus menerus berlomba, saling melompati keberhasilan, melampaui. Aku sadar diriku begitu, begitupula kamu. Kita saling mencibir, namun kita saling mendorong satu sama lain.

Dahulu aku masih bebas bermain dan berbincang denganmu, tanpa mengetahui sebenarnya harus ada gerbang pembatas untuk kita.

Semua berubah saat memasuki jenjang yang lebih tinggi. Kau, dengan senyum sumringahmu mempersiapkan diri untuk OSKM hari esok. Masih terdengar di telingaku sore itu, suara teriakanmu dari telepon genggam ketika pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Aku menangis haru, bukan, yang ini bukan menangis iri. Namun ini adalah tanda syukur bahwasanya doaku juga terdengar oleh Yang Maha Esa.

Memang melalui tahap yang berbeda, saat memang sama-sama mendengar kabar duka tentang beberapa program yang kita kirim bersama, namun kau dengan tabah menyemangati diriku yang dulu benar-benar rapuh dan lemah. Diriku yang dulu masih berantakan, bahkan kain kudung tidak kujulurkan setiap masa.

Kembali lagi saat telah memasuki jenjang itu, perlahan masing-masing dari kita telah memegang amanah dan kesibukan. Membuat komunikasi di antara kita benar-benar terputus, hanya terhubung dengan waktu yang bernama liburan. Itupun kita benar-benar hanya menyapa dan kemudian terlena dengan kesibukan masing-masing.

Bahkan, untuk sekedar berbicara panjangpun, aku makin segan.
Entah dirimu yang lupa, atau diriku yang lupa.

Perlahan, aku mulai sadar dan teringat, rupanya masing-masing dari kita telah berubah dari segala segi. Terakhir kali kita berbicarapun, rasanya aku ingin segera menuntaskan pembicaraan. Obrolan kitapun hari itu hanya sebatas menanyakan kabar keluarga, kuliah, dan kegiatan. Itupun berlangsung beberapa menit, kemudian pamit. Selebihnya hanya membroadcast informasi penting dan tidak membicarakan hal-hal sepele seperti dulu. Namun itupun sudah lama sekali.

Ya, masing-masing dari kita telah segan. Sadar bahwasanya harus ada gerbang pembatas, tidak bisa bebas seperti dulu, tidak.

Entah aku yang merasa begini atau kamupun demikian.
Setiap kali teringat masa itu, aku dengan sengaja mengarahkan jariku untuk mencari tahu. Membuka seluk beluk melalui internet, tepatnya media sosial yang terjamah. Ada rasa iri yang datang kembali, ketika melihat bahwa ternyata dirimu telah begitu keren dan hebat. Hingga membuat aku terpacu untuk melompatimu lagi, seperti dulu.

Pernah saat itu, saat aku sempat mengunjungi tempat belajarmu karena ada suatu keperluan. Kantin Salman, tempat pertama semenjak memasuki perubahan, yang menjadi saksi bahwa komunikasi kita telah terputus di situ. Memang kita pernah bertemu kembali, di kota yang lain, di kota yang terkenal dengan gudegnya. Namun tetap saja, tidak mengubah keadaan kita, agar seperti dulu.

Dengan samar-samar aku melihat jaket itu dari belakang, jaket jurusan yang pernah kau perlihatkan di tahun pertama waktu itu. Beberapa detik aku menyipitkan mataku yang sudah makin minus, memastikan siapa yang mengenakan jaket itu karena aku seperti mengenali geriknya.

Entah ada kontak batin apa, dengan tiba-tiba kau berbalik badan dan... 
Tersentak kemudian, namun dengan cepat aku mengarahkan mataku ke samping dan berbincang dengan temanku. Refleks seperti itu, akupun tidak tau mengapa.
Entah, sadar atau tidak. Harusnya kau melihat dan menyapa. Namun yang kau lakukan adalah meneruskan perjalananmu ke depan, bersama dengan teman-temanmu yang juga mengenakan jaket setipe itu.

Harusnya aku tinggal bersapa saja. Namun saat itu aku ragu untuk memanggil dan menyapa, karena khawatir bahwa kau sudah lupa dengan teman kecilmu ini.
Setelah itu benar-benar selesai. Mungkin kau memang tidak melihat, jadi yasudah.

Semoga kita sama-sama tetap berada di jalan-Nya, tetap saling menyemangati dan mendoakan seperti waktu itu, mungkin dengan cara dan sikap yang berbeda.



2014年8月1日金曜日

Secarik kertas bersajak

Apa yang menjadikanmu terjebak dalam nostalgia yang menciptakan kesedihanmu di hari ini?
Apakah karena takdirmu yang tidak selalu baik? Ataukah dirimu yang terlalu bodoh untuk melakukan segalanya?

Apakah mereka, yang telah berhasil mendapatkan segalanya, yang doanya kemarin dikabulkan, yang dilahirkan sebagai jagoan dalam segalanya, yang (katanya) ditakdirkan sebagai orang sukses dari lahirnya, yang bapak ibunya telah sukses sehingga menular ke anaknya, apakah mereka saja yang bisa berhasil?

Apakah sukses, menang, berhasil, hanya kamu dapatkan jika kamu tinggal di sini; sekolah di sini; punya bapak-ibu yang seperti ini; bisa melakukan ini; pintar di pelajaran ini, ini, dan ini; makan ini; penampilan yang begini; punya jabatan ini; dan punya ini, ini, dan ini?

Ini belum berakhir, kamu baru memulainya. Kamu baru memulainya dari 18 tahun yang lalu. Apakah kamu mau berhenti dalam hunger games ini? Ini pertandingan bro!

Apa kamu mau menyerah pada keadaan begitu saja? Menerima nasib, berpikir tidak ada jalan keluar, menganggap dirimu lemah, dungu, tidak punya kemampuan apa-apa.

Hey! Sungguh banyak orang-orang biasa di luar sana, tapi mempunyai kehidupan yang menakjubkan. Bahkan lebih menakjubkan dari orang-orang yang kamu anggap sudah ditakdirkan hebat dari lahir.

Itu semua tergantung pada kesungguhanmu, doamu, dan keyakinanmu.

Coba tilik kisah Stephen Hawking, Abraham Lincoln, Bill Gates, Chris Gardner, bahkan Einstein!

Setiap manusia punya waktu suksesnya masing-masing. Sukses adalah hak setiap orang, tidak terbatas pada keadaan pintar atau bodohnya seseorang. Tolak ukur kesuksesan memang tidak bisa dipatenkan. Semua punya porsi dan jangkauan tersendiri.

Jika kamu punya impian besar, tentu perlu usaha yang besar juga, termasuk ujian yang besar. Ingat! Ujian yang BESAR. Maka jika kamu merasa ujian yang kamu hadapi sungguh besar, ingatlah di depan sana pasti impian besarmu akan terwujud. Itu jika kamu menghadapinya sampai selesai.

Segalanya, akan selalu ada harapan.. Bersabarlah. Tuhan selalu memberikan yang terbaik untukmu. Impian besar memang harus melewati ujian yang besar. Ini memang pahit bagimu, tapi terbaik menurut Tuhanmu, terbaik bagimu juga. Tunggu saja, sabar, lakukan yang lebih, buat dirimu berkualitas untuk impianmu yang juga berkualitas.

Tunggu, sampai suatu ketika kamu akan menemukan kepuasan yang sangat, kehidupan menakjubkan yang selalu kamu nantikan, yang selalu ada dalam doa dan usahamu.

Selesaikanlah Hunger Games ini!

Intinya "Layakkan dirimu untuk impian besarmu."